Ingat Polemik Wayang antara Gus Miftah dan Ustadz Khalid Basalamah? Bagaimana Pandangan Fiqhnya?

 


Tahun lalu kita dihebohkan dengan adanya ceramah ustadz Khalid Basalamah yang membahas tentang wayang. Polemik wayang ini muncul saat ustadz Khalid basalamah menanggapi pertanyaan dari salah satu jamaahnya dimana Jamaahnya ini bertanya mengenai halal haram wayang dan cara bertobat dari profesi dalang.


Ustadz khalid menjawab bahwa tanpa menyinggung dan merendahkan seluruh suku di Indonesia dan budayanya kita sebagai umat islam harus menjadikan islam sebagai tradisi dan budaya bukan menjadikan suatu tradisi sebagai bagian dari islam. 


Setelahnya ustadz khalid mengajak orang-orang untuk meninggalkan tradisi wayang walaupun itu adalah warisan nenek moyang karena menurutnya itu diharamkan agama islam. Lebih jauh lagi ustadz khalid memberikan masukan agar wayang yang dimiliki mantan dalang ini untuk dimusnahkan saja.


Jawaban ustadz Khalid ini dinilai sangat menyinggung perasaan budayawan terutama para pecinta wayang. Beberapa orang mulai melaporkan ustadz khalid terkait kontroversi ceramahnya ini. Beberapa orang dan kelompok yang melaporkan ceramah tersebut antara lain artis Sandi Tumiwa dan Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) namun laporan mereka ditolak dan mereka disuruh mengumpulkan bukti-bukti yang lebih otentik lagi.


Tidak sampai disitu kekisruhan semakin menjadi saat seorang dalang bernama ki dalang Warseno Slenk memperagakan wayang yang mirip ustadz khalid yang dipukuli dan dicaci maki habis habisan. Pagelaran wayang itu dilakukan di kediaman Gus miftah dengan judul Begawan Lomana Mertobat. Disinilah awal perseteruan antara pendukung ustadz khalid dan pendukung gus miftah.



Banyak sekali pendukung ustadz Khalid di media sosial yang mendoakan agar ustadz khalid selalu dalam lindunganNya dan mereka juga menegaskan bahwa dengan melihat pewayangan ki dalang Warseno mereka bisa memilih mana dakwah yang sesuai ajaran islam (dakwah ustadz Khalid) dan mana dakwah yang tidak sesuai ajaran islam (dakwah wayang ki dalang Warseno).


Sedangkan pendukung gus miftah mengatakan jika sekali-kali perlu memberi pelajaran kepada para ustadz wahabi (Aliran ustadz Khalid) agar tidak selalu mudah menyalahkan, membid’ahkan, mensesatkan, bahkan mengkafirkan orang yang berbeda paham dengan mereka.


Jika melihat kejadian diatas kita harus memahami jika dalam berdakwah kita harus tahu kondisi dan tempat dimana kita berdakwah. Sangat bisa dipastikan jika dakwah ustadz Khalid tidak tersebar tentu dia akan aman-aman saja dan tidak akan menimbulkan kegaduhan seperti ini Lalu apakah budaya itu benar-benar tidak bisa diadopsi ke dalam agama islam?


Ada satu kaidah fiqh yang berbunyi al-adat al muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum). Dalam kaidah ini jelas menunjukkan bahwa adat yang ada pada suatu daerah dan dilakukan oleh masyarakat selama adat itu tidak melanggar hukum maka boleh diadopsi dalam islam. Wayang juga pernah digunakan oleh sunan kalijaga untuk berdakwah islam di tanah jawa dan terbukti berhasil. Hal ini merupakan hal yang jelas bisa dijadikan sandaran hukum bahwa perwayangan itu adalah adat istiadat yang boleh dilakukan.


Namun memang ada beberapa dalil dalam hadist-hadist Nabi yang menyatakan bahwa gambar mirip makhluk hidup itu diharamkan dalam agama islam. Berikut beberapa hadist tersebut:


1. “semua tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, setiap gambar yang ia buat akan  diberikan jiwa dan akan mengadzabnya di neraka Jahannam” (HR. Bukhari dan Muslim) 

 

2. “barangsiapa yang di dunia pernah menggambar gambar (bernyawa), ia akan dituntut untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut di hari kiamat, dan ia tidak akan bisa melakukannya (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Dalil-dalil tersebut jelas sangat frontal dalam mengharamkan apapun bentuk gambar yang dibuat oleh manusia. Tapi kita juga perlu membandingkan dengan riwayat lainnya semisal riwayat berikut:


1. Ibnu Abbas RA, berkata: ‘Akhirnya bermunculan patung-patung di negeri Arab. Patung Wad milik Bani Kalb di Daumah Jandal. Patung Suwa’ milik Bani Hudzail. Patung Yaguts milik Bani Murad, kemudian dimiliki suku Ghutaif di Juf Saba’. Patung Ya’uq milik suku Hamdan. Patung Nasr milik suku Himyar, keluarga Kala’.Mereka itulah nama-nama orang saleh pada kaum Nuh. Ketika mereka telah wafat, maka setan mengilhamkan pada mereka untuk memahat patung-patung para tokoh mereka di tempat mereka dan memberi nama-namanya. Lalu mereka melakukannya. Awalnya belum menjadi sesembahan, namun ketika ilmu mereka tercabut, maka patung-patung itu dijadikan sesembahan. (HR Bukhari 4636).


2. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 493)


Hadist Ibnu Abbas tersebut memberikan informasi bahwa sebenarnya patung-patung itu diawal tidaklah mengapa dan tidak haram namun ketika patung-patung itu dijadikan sesembahan dan dikultuskan maka itulah yang menyebabkannya menjadi haram. Sedangkan hadist Aisyah menjelaskan bahwa Nabi SAW tidak melarangnya untuk bermain boneka-boneka yang jelas bentuknya sama dengan makhluk ciptaan Allah.


Ada satu kaidah fiqh lagi yang menarik:

 "Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman"


Artinya hukum itu berputar bersama illatnya (Sebab). Jika illat itu ada maka hukum itu ada tapi jika tidak ada illat maka hukum itu tidak ada.

Maka dapat diambil kesimpulan jika kita membuat suatu gambar atau patung lalu gambar dan patung itu kita jadikan sesembahan maka hal itu diharamkan namun apabila itu bukan dijadikan sesembahan hanya sebagai hiasan saja, maka itu dibolehkan dalam agama.


Hal ini juga diperkuat oleh pendapat ulama terkemuka Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah saat mengomentari hadist boneka Aisyah. Beliau menyatakan, “Para ulama berdalil dengan hadits ini akan bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi ‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).


Oleh karena itu saat ini kita bias melihat dua organisasi besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah maupun ulama-ulama dunia di al Azhar tidak mengharamkan pembuatan gambar, foto ataupun patung-patung selama tidak digunakan untuk hal-hal yang melanggar syariat islam.


Wallahu a'lam

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post